Fai.umsida.ac.id– Bencana alam yang melanda wilayah tertentu, seperti banjir atau tanah longsor diwilayah sumatera akhir-akhir ini, sering kali menyebabkan kerusakan besar, tidak hanya pada rumah dan infrastruktur, tetapi juga mengganggu aktivitas ibadah umat Islam.
Baca Juga: FAI Umsida Resmi Buka Pendaftaran FGT XI
Salah satu pertanyaan yang sering muncul di kalangan penyintas bencana adalah apakah salat tetap sah meskipun pakaian yang dikenakan terkena najis dan kotor akibat bencana.
Dalam konteks ini, Fikih Kebencanaan yang disusun oleh Muhammadiyah memberikan jawaban yang jelas. Di tengah kondisi darurat, salat tetap wajib dilakukan, meskipun pakaian yang dikenakan tidak dapat dibersihkan dari najis. Hal ini disebabkan karena syariat Islam memberikan kelonggaran bagi umatnya dalam menjalankan ibadah meski dalam keterbatasan.
Pada prinsipnya, dalam keadaan normal, syariat Islam mengharuskan pakaian yang digunakan saat salat dalam keadaan suci dan bersih. Sebagai contoh, dalam QS. al-A‘rāf ayat 31, Allah berfirman, “Wahai anak Adam, pakailah pakaian indahmu di setiap memasuki masjid.” Ayat ini menunjukkan bahwa salat sebaiknya dilakukan dengan pakaian yang layak dan bersih. Namun, ayat tersebut tidak berlaku secara mutlak, terutama ketika bencana melanda dan tidak memungkinkan untuk mendapatkan pakaian bersih.
Hadis Nabi Muhammad SAW juga mengingatkan kita tentang pentingnya kesucian dalam ibadah, seperti yang termaktub dalam sabdanya, “Tidak diterima salat tanpa bersuci.” (HR Muslim). Namun, dalam keadaan darurat seperti banjir atau tanah longsor, syariat tidak memaknai hal ini secara kaku, terutama ketika seseorang tidak mampu membersihkan pakaian dari najis karena kondisi ekstrem.
Dalam situasi seperti ini, prinsip “al-ḍarūrāt tubīḥu al-maḥẓūrāt” atau “keadaan darurat membolehkan hal-hal yang awalnya terlarang” berlaku. Ini berarti dalam situasi darurat, seperti pakaian yang terkena lumpur dan air kotor, syariat memberikan kelonggaran untuk tetap melaksanakan ibadah.
Selain itu, kaidah “al-mashaqah tajlibu at-taysīr” yang artinya “kesulitan melahirkan kemudahan” juga relevan dalam konteks ini. Dalam keadaan sulit seperti pascabencana, di mana pakaian sulit dibersihkan dan tidak ada pengganti, syariat tidak menuntut kesempurnaan, tetapi yang terpenting adalah niat dan usaha untuk tetap menjalankan ibadah sesuai dengan kemampuan yang ada.
Firman Allah dalam QS. al-Taghābun ayat 16, “Bertakwalah kepada Allah sesuai kemampuan kalian,” juga menegaskan bahwa batas kewajiban beribadah ditentukan oleh kemampuan nyata setiap individu, bukan oleh standar ideal yang tidak dapat dipenuhi dalam situasi darurat.
Oleh karena itu, meskipun pakaian yang dikenakan terkena najis akibat bencana, salat tetap sah dilakukan selama seseorang berusaha untuk menjalankannya sesuai dengan kemampuannya. Hal ini mengingatkan kita bahwa Islam selalu mengutamakan kemudahan dalam situasi yang sulit dan memberikan ruang untuk kelonggaran dalam menjalankan kewajiban ibadah.
Baca Juga:Banjir Aceh – Sumatera Ditilik dari Kajian Ilmiah Dosen Umsida, Ini Penyebabnya
Dengan demikian, dalam konteks bencana, umat Islam tetap diwajibkan untuk melaksanakan salat meskipun kondisi pakaian dan kebersihannya tidak memenuhi standar ideal. Syariat Islam, dalam hal ini, memfasilitasi umatnya untuk tetap menjaga ibadah dengan penuh ketaatan, meskipun dalam keterbatasan.
Sumber:
Pimpinan Pusat Muhammadiyah, “Fikih Kebencanaan”, dalam Berita Resmi Muhammadiyah: Nomor 03/2015-2020/Rabiul Akhir 1439 H/Januari 2018 M, Yogyakarta: Gramasurya, 2018.






















