Fai.umsida.ac.id – Pemerintah melalui Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) resmi mengesahkan Revisi Undang-Undang (RUU) tentang pelaksanaan haji menjadi Undang-Undang (UU).
Baca Juga: FAI Umsida Jalin Kerja Sama dengan FAI Uhamka untuk Collaborative Teaching dan KKN Internasional
Pengesahan pada rapat paripurna Selasa, (26/8/2025) tersebut menghadirkan perubahan signifikan, salah satunya pengalihan Badan Penyelenggara Haji (BP Haji) menjadi Kementerian Haji dan Umroh.
Perubahan ini sekaligus membawa sejumlah aturan baru, mulai dari usia minimal jemaah haji, kriteria petugas embarkasi, hingga tata hubungan kelembagaan dengan Kementerian Agama. Menanggapi hal tersebut, Rahmad Salahuddin TP SAg MPdI, dosen Fakultas Agama Islam (FAI) Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida) sekaligus pengajar Program Studi Pendidikan Agama Islam (PAI), memberikan pandangan kritis.
Opini Dosen FAI Tentang Peningkatan Kelembagaan dan Otoritas
Menurut Rahmad, lahirnya Kementerian Haji dan Umroh menandai adanya peningkatan kelembagaan yang sebelumnya hanya berada di tingkat badan eselon I.
“Ini berarti ada peningkatan otoritas, legitimasi, dan akses sumber daya. Hal ini semakin memperkuat posisi pengelolaan haji, terutama terkait dengan koordinasi lintas kementerian dan hubungan internasional dengan pemerintah Arab Saudi,” ujarnya.
Namun, ia menegaskan bahwa efisiensi kementerian baru ini akan sangat bergantung pada tata laksana birokrasi yang diterapkan. Jika alur kerja dapat dipersingkat, koordinasi lebih sederhana, serta pengambilan keputusan dalam diplomasi kuota lebih cepat, maka perubahan ini akan membawa manfaat besar. “Sebaliknya, bila justru menambah lapisan birokrasi, penganggaran, dan administrasi, maka pengalihan ini menjadi tidak efisien,” tambahnya.
Tantangan Pengelolaan Anggaran dan SDM
Dosen FAI Umsida tersebut juga menyoroti tantangan teknis yang perlu diantisipasi, terutama dalam hal pengalihan anggaran dan pegawai.
“Penyesuaian pos anggaran dari lembaga lama ke kementerian baru harus dilakukan secara hati-hati agar tidak menimbulkan tumpang tindih pembiayaan. Resiko pemborosan anggaran bisa terjadi bila alokasi tidak direncanakan dengan matang,” jelasnya.
Hal serupa juga berlaku pada perpindahan sumber daya manusia (SDM). Menurut Rahmad, regulasi turunan dari Undang-Undang Haji baru akan sangat menentukan bagaimana penyesuaian SDM dilakukan. “Kita menunggu aturan lebih lanjut, karena transisi ini harus dipastikan tidak mengganggu pelayanan jemaah,” tandasnya.
Harapan Layanan Haji Ramah Lansia
Sebagai akademisi FAI sekaligus anggota Majelis Dikdasmen PWM Jawa Timur, Rahmad menekankan pentingnya keberpihakan kepada calon jemaah haji yang sudah lama menunggu. Ia mengingatkan bahwa sebagian besar calon jemaah akan berangkat pada usia lanjut.
“Dengan antrian yang bisa mencapai 20 tahun, mayoritas jemaah nanti sudah berusia di atas 50 tahun. Itu berarti layanan haji Indonesia harus ramah lansia,” ungkapnya.
Ia berharap keberadaan Kementerian Haji dan Umroh mampu memperpendek masa tunggu, serta memberikan tambahan kuota yang lebih merata. “Akan lebih baik jika 80 persen kuota diperuntukkan bagi haji reguler dan 20 persen untuk haji khusus, sehingga harapan calon jemaah yang sudah menunggu lama bisa segera terwujud,” pungkas Rahmad.
Baca Juga: 80 Tahun Indonesia Merdeka dan Kesejahteraan Masih Menjadi Persoalan, Ini Langkah Solutifnya
Dengan demikian, pandangan dosen FAI Umsida ini menjadi suara akademisi yang mengingatkan pentingnya efisiensi birokrasi, keberlanjutan pelayanan, dan keadilan dalam distribusi kuota haji demi kenyamanan ibadah umat Islam Indonesia.
Editor: Akhmad Hasbul Wafi