Fai.umsida.ac.id – Perekonomian Indonesia kembali diguncang fluktuasi tajam di pasar keuangan. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) tercatat melemah 1,28 persen ke level 7.766, sebuah angka yang cukup mengkhawatirkan bagi pelaku pasar.
Sementara itu, nilai tukar Rupiah sempat berfluktuasi meskipun akhirnya menguat tipis di kisaran Rp16.350 per dolar AS. Di sisi lain, harga emas melonjak hingga menembus rekor baru sebesar Rp2,06 juta per gram.
Fenomena ini menunjukkan adanya tekanan besar di pasar modal, sekaligus kecenderungan masyarakat dan investor beralih ke instrumen investasi yang dianggap lebih aman. Emas sebagai aset safe haven menjadi pilihan utama di tengah ketidakpastian, sementara pasar saham tertekan oleh faktor internal dan eksternal.
KaprodI Perbankan Syariah Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida), Ninda Ardiani SEI MSEI, menilai situasi ini bukanlah gejala tunggal, melainkan cerminan kompleksitas ekonomi global dan domestik. “Pelemahan IHSG dipicu oleh kombinasi arah kebijakan fiskal yang belum sepenuhnya jelas, ditambah tekanan ekonomi global yang sedang bergejolak. Faktor eksternal seperti kebijakan suku bunga The Fed dan dinamika geopolitik dunia juga turut menekan pasar modal kita,” ungkapnya.
IHSG & Tuntutan 17 plus 8 Muncul di Tengah Gejolak
Di tengah ketidakpastian ekonomi, suara masyarakat justru semakin kuat menyuarakan tuntutan “17+8”. Tuntutan ini bukan sekadar jargon, melainkan sebuah refleksi dari kebutuhan dasar rakyat. Istilah “17” merujuk pada kebutuhan pokok rakyat yang murah dan terjangkau, sedangkan angka “8” menandakan delapan kebijakan ekonomi yang adil, transparan, dan terbuka.
“Masyarakat ingin agar harga barang pokok tetap terjangkau, kesempatan kerja tersedia luas, pembangunan merata di seluruh wilayah, serta pengelolaan ekonomi dilakukan secara transparan,” jelas Kaprodi PBS Umsida.
Menurutnya, tuntutan tersebut lahir dari kondisi nyata yang dirasakan masyarakat. Ketika harga bahan pokok melonjak, lapangan kerja terbatas, dan distribusi pembangunan tidak merata, rakyat merasa tidak memperoleh manfaat langsung dari pertumbuhan ekonomi. “Inilah yang menjadikan tuntutan 17+8 semakin relevan. Masyarakat tidak hanya membutuhkan stabilitas makroekonomi, tetapi juga kepastian dalam kehidupan sehari-hari. Jika tuntutan ini diabaikan, risiko kesenjangan sosial bisa semakin membesar,” tambahnya.
Ia menekankan bahwa indikator pertumbuhan ekonomi tidak boleh hanya dilihat dari grafik IHSG atau nilai Rupiah semata. “Kestabilan sejati harus menyentuh kebutuhan rakyat paling mendasar. Itu baru bisa disebut pertumbuhan yang inklusif,” tegasnya.
Harapan pada Kebijakan Pemerintah
Merespons kondisi ini, pemerintah didorong untuk segera mengambil langkah konkret. Kaprodi Perbankan Syariah Umsida menilai, ada tiga hal mendesak yang perlu dilakukan pemerintah: memperkuat kebijakan subsidi, menjaga stabilitas harga bahan pokok, serta memperluas program kerja padat karya.
“Kebijakan subsidi yang tepat sasaran akan membantu kelompok masyarakat rentan menghadapi tekanan harga. Pengawasan harga bahan pokok juga penting agar tidak ada spekulan yang memanfaatkan situasi. Selain itu, kerja padat karya dapat menjadi solusi jangka pendek untuk menyediakan lapangan kerja,” ujarnya.
Lebih jauh, ia juga menekankan pentingnya pembangunan infrastruktur yang merata hingga ke wilayah terpencil. “Infrastruktur tidak hanya tentang jalan tol atau bandara besar, tetapi juga akses jalan desa, irigasi pertanian, dan fasilitas pendidikan serta kesehatan. Pembangunan semacam ini akan menciptakan pemerataan yang nyata,” terangnya.
Transparansi sebagai Kunci Kepercayaan Publik
Dalam pandangannya, transparansi pengelolaan anggaran dan kebijakan ekonomi menjadi faktor yang tidak kalah penting. “Masyarakat harus yakin bahwa pajak dan anggaran negara dikelola dengan adil. Transparansi adalah kunci untuk mengembalikan kepercayaan publik terhadap kebijakan pemerintah,” katanya.
Ia menambahkan, kepercayaan publik tidak bisa dibangun hanya dengan angka-angka ekonomi yang impresif. “Stabilitas ekonomi harus hadir dalam rutinitas masyarakat sehari-hari, bukan hanya jargon makroekonomi. Ketika rakyat merasakan harga pangan terjangkau, kesempatan kerja terbuka, dan pembangunan merata, barulah mereka percaya pada kebijakan yang diambil,” pungkasnya.
Baca Juga: Strategi Peningkatan Kualitas Pendidikan di Jawa Timur dari Rektor Umsida
Dengan menguatnya tuntutan 17+8, arah kebijakan pemerintah ke depan dituntut lebih pro-rakyat. Kaprodi PBS Umsida mengingatkan, stabilitas yang berkeadilan adalah kunci untuk menghindari kesenjangan yang lebih dalam. “Pertumbuhan ekonomi harus dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat. Jika hanya segelintir pihak yang menikmati, maka ketidakpuasan sosial bisa meningkat dan membahayakan stabilitas itu sendiri,” ujarnya.
Ia menutup dengan optimisme, bahwa meski gejolak ekonomi masih berlangsung, Indonesia memiliki peluang untuk bangkit. “Dengan sinergi antara pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat, kita bisa menciptakan ekonomi yang lebih kokoh, inklusif, dan berkelanjutan,” tutupnya.
Sumber: Ninda Ardiani SEI MSEI
Penulis: Akhmad Hasbul Wafi