Fai.umsida.ac.id– Moch Bahak Udin By Arifin MPdi selaku Kaprodi Pendidikan Agama Islam Universitas Muhammadiyah Sidoarjo ( PAI Umsida) menjadi narasumber dalam Workshop Pendidikan bertema Pengentasan ATS dalam mendukung Wajib Belajar 13 Tahun yang digelar pada Sabtu, 29 November 2025 di Sun Hotel Sidoarjo.
Baca Juga: Lebih Kenal Dunia Kerja, Umsida Undang Jobstreet untuk Mengetahui Tren Dunia Kerja Terbaru
Kegiatan yang diinisiasi Direktorat SMA Kemendikdasmen bersama Komisi X DPR RI ini menghadirkan diskusi strategis tentang anak tidak sekolah (ATS), mulai dari pemetaan masalah hingga rancangan intervensi berbasis data dan kolaborasi lintas sektor.
Data Putus Sekolah Menguatkan Urgensi Wajib Belajar 13 Tahun
Dalam paparannya, Dosen PAI Umsida ini menekankan bahwa isu ATS bukan sekadar fenomena administratif, melainkan problem sosial yang memutus peluang masa depan anak. Ia mengaitkan urgensi itu dengan data nasional terbaru yang menunjukkan tantangan putus sekolah masih besar. Notulensi kegiatan mencatat, ia merujuk pernyataan Menteri Sosial Agus Jabo Priyono bahwa jumlah anak putus sekolah pada 2025 mencapai 4,16 juta anak.
Moch Bahak juga menyoroti faktor penyebab ATS yang berulang dari tahun ke tahun. Berdasarkan data BPS (Susenas Maret 2025) yang ia tampilkan dalam materi, alasan utama anak tidak bersekolah mencakup faktor ekonomi, minat yang menurun, hingga keterbatasan akses.
Ia menegaskan bahwa penanganan ATS harus memahami pola turunnya partisipasi sekolah seiring meningkatnya jenjang pendidikan, sehingga intervensi tidak berhenti pada pendidikan dasar saja, tetapi menguat hingga pendidikan menengah sebagai kunci Wajib Belajar 13 Tahun.
Strategi Intervensi Kembali ke Sekolah dengan Jalur Fleksibel
Angle utama yang ia bawa adalah memperluas pintu masuk pendidikan agar ATS bisa kembali belajar melalui skema yang adaptif. Di forum diskusi, ia menyodorkan opsi intervensi yang menurutnya realistis diterapkan di daerah, terutama melalui model pendidikan yang lebih fleksibel. Ia menyampaikan kalimat langsung: “Intervensi pengentasan ATS dapat dilakukan melalui pemanfaatan program sekolah rakyat, kurikulum fleksibel berbasis talent mapping, PIP aspirasi masyarakat, optimalisasi BOS, serta penguatan SKB dan PKBM sebagai jalur pendidikan nonformal.”
Pernyataan tersebut sejalan dengan materi presentasinya yang menempatkan sekolah rakyat, BOS, SKB, dan PKBM sebagai instrumen taktis untuk memutus rantai putus sekolah, sekaligus menjadi jembatan bagi anak yang sudah terlanjur keluar dari sistem formal. Dalam slide yang ia bawakan, pendekatan itu diposisikan sebagai cara mempercepat capaian Wajib Belajar 13 Tahun, karena jalur nonformal dapat menampung anak dengan kondisi sosial-ekonomi yang beragam.
Moch Bahak juga menggarisbawahi kebutuhan pemetaan bakat (talent mapping) agar jalur fleksibel tidak hanya “menampung”, tetapi benar-benar memulihkan motivasi belajar anak melalui rute belajar yang lebih relevan dengan minat dan realitas hidup mereka. Bagi dia, fleksibilitas kurikulum harus menjadi jawaban untuk anak yang terdorong bekerja, anak yang terdampak pola asuh, maupun anak yang kehilangan minat karena pengalaman sekolah yang tidak ramah.
Kolaborasi Pendidikan Formal dan Nonformal Jadi Kunci
Di hadapan peserta workshop, Moch Bahak menilai Gerakan Wajib Belajar 13 Tahun bukan target yang utopis selama instrumen pendidikan formal dan nonformal bisa disambungkan dalam satu ekosistem kebijakan. Ia menyampaikan kutipan langsung: “Gerakan Wajib Belajar 13 Tahun dinilai sangat mungkin untuk diwujudkan dengan kolaborasi berbagai program pendidikan formal dan nonformal.”
Ia kemudian memetakan analisis kekuatan dan kelemahan dalam pengentasan ATS. Pada sisi kekuatan, ia menilai kebijakan pemerintah dan beragam bantuan (PIP, BOS, sekolah rakyat) menjadi modal penting, ditambah sistem data pendidikan yang makin terintegrasi serta partisipasi masyarakat yang meningkat.
Namun, ia juga menegaskan titik lemah yang harus dibereskan: data ATS yang belum akurat, akses pendidikan yang tidak merata, kualitas pendidikan yang timpang, serta kualitas pembelajaran yang masih rendah di sebagian wilayah.
Melalui forum ini, peran akademisi Umsida ditunjukkan bukan hanya sebagai pengamat, melainkan sebagai penyedia kerangka solusi yang bisa diterjemahkan menjadi rencana aksi daerah.
Baca Juga: 2 Mahasiswa FAI Umsida Raih Gold Medal PMAP International Innovation Day 2025 di UniSZA
Dengan membawa pendekatan berbasis data dan jalur pendidikan fleksibel, Moch Bahak mempertegas bahwa pengentasan ATS menuntut kerja bersama dari sekolah, pemerintah, hingga komunitas agar prinsip “semua bisa sekolah” benar-benar hadir dalam kebijakan dan praktik pendidikan.
























