fai.umsida.ac.id – Kenaikan harga emas dunia yang menembus angka US$ 4.000 per troy ounce dalam beberapa pekan terakhir telah menjadi topik hangat di berbagai media ekonomi.
Baca Juga: Mahasiswa FAI Umsida Wakili Jawa Timur dalam Kongres PMMBN 2025 di Jakarta
Di Indonesia sendiri, harga emas batangan kini berada di kisaran Rp 2,36 juta per gram, menandai lonjakan yang cukup signifikan dalam sejarah pasar logam mulia. Namun di balik tren ini, muncul fenomena yang patut diwaspadai: meningkatnya praktik spekulasi terhadap emas, di mana masyarakat membeli bukan karena kebutuhan investasi jangka panjang, melainkan tergoda oleh harapan keuntungan cepat.
Fenomena tersebut menimbulkan pertanyaan mendasar: bagaimana pandangan keuangan syariah terhadap praktik spekulatif ini? Dalam konteks Islam, transaksi yang didorong oleh spekulasi berlebihan bukan hanya berisiko secara ekonomi, tetapi juga bertentangan dengan prinsip etika dan moral dalam bermuamalah.
Harta sebagai Amanah, Bukan Alat Perjudian

Dalam ajaran Islam, harta dipandang sebagai amanah (trust) yang harus digunakan secara produktif dan bertanggung jawab. Al-Qur’an menegaskan agar manusia tidak menimbun kekayaan tanpa manfaat bagi sesama. Prinsip ini menjadi landasan utama bagi sistem keuangan syariah yang menolak segala bentuk ketidakpastian (gharar) dan perjudian (maysir).
Spekulasi terhadap emas—di mana seseorang membeli bukan untuk kebutuhan riil, tetapi semata-mata berharap harga naik—sangat dekat dengan unsur maysir. Rasulullah SAW melarang transaksi yang mengandung ketidakjelasan manfaat atau kepemilikan, sebagaimana sabdanya: “Janganlah kamu menjual sesuatu yang tidak kamu miliki.” (HR. Abu Dawud). Hadis ini memperjelas bahwa Islam menolak praktik yang menjadikan harta sebagai objek permainan untung-rugi tanpa dasar kebutuhan nyata.
Ninda Ardiani SEI MSEI, selaku Kepala Podi (Kaprodi) Perbankan Syariah Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (FAI Umsida), menjelaskan bahwa fenomena spekulasi emas perlu dikritisi secara etis dan moral. “Emas seharusnya menjadi instrumen perlindungan nilai, bukan alat perjudian ekonomi. Ketika masyarakat membeli karena dorongan psikologis takut ketinggalan, maka aspek rasionalitas dan keberkahan transaksi itu hilang,” ujarnya.
Prinsip Etis dalam Keuangan Syariah
Keuangan syariah hadir bukan sekadar untuk melarang, tetapi untuk mengarahkan transaksi ekonomi agar berkeadilan dan produktif. Prinsip-prinsip seperti akad yang sahih, kejujuran dalam transaksi, dan kebermanfaatan sosial menjadi pedoman agar kegiatan ekonomi tidak merugikan salah satu pihak.
Dalam konteks emas, keuangan syariah mendorong agar pembelian dilakukan untuk tujuan perlindungan kekayaan (hedging) atau sebagai tabungan jangka panjang, bukan untuk mengejar fluktuasi harga jangka pendek. Selain itu, investasi sebaiknya diarahkan ke sektor riil seperti pertanian, manufaktur, atau usaha mikro, yang memberikan nilai tambah nyata bagi masyarakat.
“Ketika dana dialihkan ke sektor produktif, perputaran ekonomi menjadi sehat. Berbeda dengan menimbun emas, yang justru bisa menahan likuiditas dan memperlebar kesenjangan sosial,” tambah Ninda. Menurutnya, Islam selalu menekankan keseimbangan antara keuntungan duniawi dan keberkahan akhirat dalam setiap aktivitas ekonomi.
Jalan Tengah antara Rasionalitas dan Moralitas

Pendekatan keuangan syariah menawarkan jalan tengah antara rasionalitas ekonomi dan moralitas spiritual. Rasionalitas mengajarkan manusia untuk berhitung dan berhati-hati dalam mengambil keputusan finansial, sedangkan moralitas mengingatkan agar keputusan itu tidak mengandung unsur ketidakadilan dan keserakahan.
Ketika dua unsur ini disatukan, maka lahirlah sistem ekonomi yang berkelanjutan. Keuntungan bukan lagi diukur hanya dari peningkatan harga aset, tetapi juga dari kontribusi terhadap kesejahteraan sosial. Dalam pandangan Islam, keberkahan ekonomi justru hadir ketika harta mampu memberi manfaat bagi banyak orang, bukan hanya memperkaya segelintir pelaku pasar.
Dari sinilah, konsep maqashid syariah atau tujuan-tujuan hukum Islam menjadi sangat relevan. Salah satu prinsipnya adalah menjaga harta (hifz al-mal), yang bermakna mengelola kekayaan agar tidak sia-sia atau digunakan untuk hal yang merusak. Spekulasi berlebihan justru berpotensi menimbulkan kerugian kolektif, baik di tingkat individu maupun sosial.
Edukasi Literasi Syariah sebagai Solusi

Untuk mencegah terulangnya perilaku spekulatif, masyarakat perlu dibekali dengan literasi keuangan syariah yang kuat. Edukasi ini tidak hanya mengajarkan cara berinvestasi, tetapi juga menanamkan nilai-nilai kejujuran, kesederhanaan, dan keberkahan dalam pengelolaan harta.
Lembaga keuangan syariah, seperti bank dan koperasi syariah, memiliki peran penting dalam memberikan alternatif investasi yang halal dan transparan, seperti produk pembiayaan murabahah emas atau tabungan berjangka syariah. Produk semacam ini dapat menjadi solusi bagi masyarakat yang ingin memiliki emas tanpa terjebak dalam praktik spekulasi.
Pada akhirnya, kenaikan harga emas bukan sekadar persoalan ekonomi, tetapi juga ujian moral bagi umat. Dalam pandangan Islam, kekayaan sejati bukan diukur dari banyaknya harta yang dimiliki, melainkan dari sejauh mana harta itu membawa kemaslahatan dan keberkahan.
Baca Juga: Umsida dan Komisi X DPR RI Perkuat Gerakan Pencegahan Kekerasan di Kampus
Emas tetaplah simbol ketahanan, tetapi hanya jika dikelola dengan prinsip keadilan, transparansi, dan niat yang benar. Keuangan syariah mengingatkan umat bahwa stabilitas ekonomi tidak hanya bergantung pada pasar, tetapi juga pada iman, etika, dan tanggung jawab sosial dalam setiap transaksi. Dengan demikian, emas akan kembali pada hakikatnya: bukan alat spekulasi, melainkan sarana menjaga keseimbangan antara dunia dan akhirat.
Sumber: Ninda Ardiani SEI MSEI
Penulis: Akhmad Hasbul Wafi
























