Fai.Umsida.ac.id – Bulan Syawal menjadi salah satu momen istimewa dalam kalender hijriyah. Selain identik dengan perayaan Idul Fitri dan tradisi silaturahmi, Syawal juga menyimpan sunnah yang jarang disadari: sunnah menikah. Rasulullah SAW sendiri menikahi Sayyidah Aisyah RA di bulan Syawal, sebuah peristiwa yang menjadi dasar bahwa menikah di bulan ini bukan hanya diperbolehkan, tetapi dianjurkan dan diberkahi.
Namun, di tengah semaraknya semangat mengikuti sunnah, masih ditemukan praktik pernikahan yang tidak tercatat secara resmi, dikenal sebagai nikah sirri. Praktik ini, meskipun sah secara agama jika rukun dan syaratnya terpenuhi, memiliki konsekuensi besar dalam aspek hukum dan sosial.
Meneladani Sunnah Rasul: Menikah di Bulan Syawal
Dalam sejarah Islam, pernikahan Rasulullah SAW dengan Aisyah RA menjadi rujukan utama anjuran menikah di bulan Syawal. Sebuah hadits riwayat Muslim menyebutkan bahwa Aisyah berkata:
“Rasulullah menikahiku di bulan Syawal dan membangun rumah tangga denganku juga di bulan Syawal. Maka siapakah di antara istri Rasulullah yang lebih beruntung dariku?” (HR. Muslim)
Dari hadits ini, para ulama menyimpulkan bahwa menikah di bulan Syawal merupakan bagian dari sunnah Rasulullah. Hal ini membantah pandangan budaya tertentu yang menganggap bulan Syawal sebagai waktu yang kurang baik untuk menikah. Justru, mengikuti jejak Rasulullah SAW adalah pilihan terbaik yang penuh dengan keberkahan.
Bulan Syawal menjadi momentum untuk memulai lembaran baru, baik dalam hubungan dengan Allah SWT setelah Ramadhan, maupun dalam membentuk keluarga sakinah mawaddah warahmah. Maka tak heran jika banyak pasangan muslim menjadikan bulan ini sebagai waktu untuk melangsungkan akad nikah.
Nikah Sirri: Sah Menurut Syariat, Bermasalah dalam Hukum
Di sisi lain, fenomena nikah sirri atau “nikah di bawah tangan” semakin marak pasca diterapkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang mewajibkan pencatatan pernikahan. Dalam Pasal 2 undang-undang tersebut ditegaskan bahwa:
1. Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya.
2. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 10 sampai Pasal 13 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 turut menjelaskan bahwa pernikahan harus dilakukan di hadapan Pegawai Pencatat Nikah dan disaksikan oleh dua orang saksi. Akta nikah yang dihasilkan menjadi bukti sah pernikahan dan memiliki kekuatan hukum yang penting dalam kehidupan sosial dan administrasi negara.
Meskipun pernikahan yang tidak tercatat tetap sah secara agama jika memenuhi syarat dan rukun, absennya pencatatan dapat menimbulkan masalah besar. Anak dari hasil pernikahan sirri sering kali tidak mendapatkan hak-haknya secara hukum, seperti akta kelahiran, hak waris, atau perlindungan hukum terhadap ibu dan anak jika terjadi perceraian atau sengketa.
Menghindari Maslahat yang Terabaikan
Pada masa Rasulullah SAW, memang belum ada sistem pencatatan pernikahan seperti sekarang. Namun, perkembangan zaman dan kebutuhan masyarakat menuntut perlindungan hukum atas semua aspek kehidupan, termasuk pernikahan. Dalam Islam, prinsip maslahah (kebaikan) dan mafsadah (kerusakan) menjadi pertimbangan utama dalam menetapkan kebijakan. Maka, pencatatan pernikahan bukan untuk menyalahi syariat, melainkan untuk menjaga kemaslahatan umat.
Pernikahan yang tidak tercatat bisa membuka ruang terjadinya praktik tidak bertanggung jawab: poligami tanpa izin, pemutusan hubungan sepihak, hingga eksploitasi perempuan. Oleh sebab itu, mencatatkan pernikahan menjadi bagian dari tahsinul hayat – memperbaiki dan menjaga kualitas hidup sesuai syariat Islam dan ketertiban negara.
Nikah sirri yang dilakukan tanpa alasan mendesak bukanlah bentuk dari ketaatan, melainkan potensi kemudharatan. Justru, mengikuti peraturan negara yang sejalan dengan prinsip-prinsip Islam adalah bentuk kepatuhan dan tanggung jawab.
Menikah: Ikatan Ibadah yang Butuh Kesadaran Hukum dan Sosial
Pernikahan dalam Islam adalah perjanjian yang kuat (mitsaqan ghaliza), bukan sekadar hubungan pribadi antara dua insan. Ia adalah institusi sosial dan agama yang memiliki dampak luas. Maka, menyempurnakan pernikahan tidak cukup hanya dengan niat dan ijab kabul, tetapi juga dengan tanggung jawab administratif dan sosial.
FAI Umsida mengajak generasi muda untuk tidak hanya meneladani Rasulullah SAW dalam waktu menikah, tetapi juga dalam kedewasaan menyikapi syariat dan peraturan. Menikahlah dengan penuh kesadaran, terbuka, dan resmi. Hindari jalan tersembunyi yang berpotensi mencederai makna suci pernikahan.
Mari jadikan bulan Syawal ini sebagai momentum untuk memulai kehidupan baru yang diridhai Allah, diberkahi masyarakat, dan diakui negara. Karena sesungguhnya pernikahan adalah awal dari membangun peradaban, bukan sekadar mengikat dua hati, tetapi juga membentuk generasi dan masa depan.
Penulis:AHW
Sumber: Muhammadiyah.org.id