Fai.umsida.ac.id – Perubahan zaman yang semakin cepat menuntut para pendidik untuk terus beradaptasi, baik dalam strategi mengajar maupun pemanfaatan teknologi.
Baca Juga: BEM FAI Umsida Adakan Pelatihan Qiroah Melalui Program Mimbar Prestasi
Hal ini disampaikan oleh Kepala Program Studi Magister Pendidikan Islam (S2 MPI) Universitas Muhammadiyah Sidoarjo, Dr Eni Fariyatul Fahyuni SPsi MPdI dalam Seminar Nasional yang digelar FAI Umsida, Selasa (12/8/2025).
Di hadapan peserta yang terdiri dari mahasiswa, dosen, dan praktisi pendidikan, Dr. Eni menekankan bahwa guru tidak boleh terpaku pada metode konvensional, melainkan harus mampu menyesuaikan diri dengan kebutuhan generasi saat ini. “Zaman terus berubah. Kalau dulu kebutuhan dasar manusia adalah makan dan minum, sekarang ada tambahan baru: baterai dan Wi-Fi,” ujarnya, disambut tawa peserta.
Guru Harus Mengenal Potensi Peserta Didik
Dalam paparannya, Dr Eni menjelaskan bahwa guru wajib melakukan pemetaan kebutuhan dan potensi siswa sebelum memulai pembelajaran. Dengan latar belakang pendidikan psikologi, ia berbagi pengalaman mengembangkan Mobile Counseling Online untuk mengidentifikasi gaya belajar dan kecerdasan majemuk siswa secara praktis.
“Dulu kami melakukan tes gaya belajar dengan kertas dan pensil, kini cukup klik di gawai. Hasilnya langsung keluar: apakah siswa dominan visual, auditori, atau kinestetik. Dari situ, guru bisa menyesuaikan media dan strategi mengajar,” terangnya.
Menurutnya, pendekatan ini penting karena setiap kelas memiliki karakteristik berbeda. “Kalau kelas A rata-rata visual-auditori, gunakan gambar dan suara. Kalau kelas B lebih auditori, perbanyak audio dan diskusi. Kalau kinestetik, libatkan gerak dan praktik langsung. Strategi harus disesuaikan, bukan diseragamkan,” tambahnya.
Mengajar Bukan Sekadar Transfer Ilmu
Dr Eni mengkritik pola pikir lama yang menempatkan guru sebagai satu-satunya sumber pengetahuan. Ia mengajak peserta untuk memberi ruang pada siswa menjadi transfer of knowledge bagi guru dan teman sebayanya.
“Bisa jadi siswa lebih dulu menonton film Titanic daripada gurunya. Kalau begitu, biarkan mereka berbagi pengetahuan. Guru sekarang bukan hanya pengajar, tapi fasilitator pembelajaran,” katanya.
Ia mencontohkan bagaimana pembelajaran kreatif mampu melatih critical thinking, kolaborasi, kreativitas, dan komunikasi. Alih-alih memberi satu jawaban benar, guru dapat membuka ruang bagi berbagai ide. “Dulu saat saya diminta menggambar pemandangan, jawabannya selalu dua gunung dan jalan di tengah. Itu membuat kreativitas terkungkung. Sekarang, ajarkan anak untuk melihat keindahan dari berbagai perspektif,” jelasnya.
Teknologi Sebagai Sarana, Bukan Tujuan
Meski mendorong pemanfaatan teknologi, Dr Eni menegaskan bahwa teknologi hanyalah alat bantu, bukan tujuan utama. “Teaching revolution bukan berarti semua harus serba digital. Teknologi itu sarana agar siswa nyaman, tertarik, dan tertantang untuk belajar. Bahkan di pelosok tanpa internet, guru tetap bisa kreatif,” tegasnya.
Ia juga menyoroti pentingnya mobile learning dan ubiquitous learning yang memungkinkan siswa belajar di mana saja, kapan saja, dan dengan siapa saja. “Materi tentang jamur bisa dipelajari dari tukang pembuat tempe. Itu memberi pengalaman belajar yang membekas dan melatih keberanian siswa untuk berbagi,” ujarnya.
Mencetak Generasi Hebat dan Percaya Diri
Di akhir sesi, Dr. Eni merangkum kunci mencetak generasi hebat: memotivasi diri, membangun rasa percaya diri (self-efficacy), dan melatih kemampuan evaluasi diri. Guru harus berani membiarkan siswa bereksplorasi dan mencoba, bukan hanya menerima instruksi.
“Kalau nanti anak-anakmu lebih pintar darimu, berarti kamu berhasil sebagai guru. Jangan takut kalah pintar dari siswa, karena tujuan kita adalah mencetak generasi yang lebih unggul,” pesannya.
Seminar ini ditutup dengan sesi diskusi interaktif. Beberapa peserta berbagi pengalaman dan tantangan mengajar, sementara Dr. Eni memberikan masukan langsung. Suasana hangat dan penuh semangat mencerminkan antusiasme peserta untuk mengimplementasikan materi yang disampaikan.
Dengan materi yang membumi dan penuh contoh nyata, Dr. Eni mengingatkan bahwa revolusi pembelajaran tidak hanya soal menguasai teknologi, tetapi juga memahami manusia dan membentuk karakter. “Kita tidak sedang mencetak robot, tapi manusia yang berpikir kritis, kreatif, dan berakhlak mulia,” pungkasnya.
Baca Juga: 80 Tahun Indonesia Merdeka dan Kesejahteraan Masih Menjadi Persoalan, Ini Langkah Solutifnya
Kegiatan ini menjadi momentum berharga bagi seluruh peserta untuk menata kembali strategi mengajar di kelas masing-masing. Harapannya, ilmu yang diperoleh dapat diimplementasikan secara berkelanjutan, sehingga FAI Umsida mampu terus mencetak pendidik yang adaptif, inovatif, dan relevan dengan tantangan zaman.
Penulis: Akhmad Hasbul Wafi