Fai.umsida.ac.id — Bulan Rajab 1447 H resmi dimulai hari ini menurut Kalender Hijriah Global Tunggal yang menjadi rujukan Muhammadiyah. (KHGT) Di tengah suasana pergantian bulan, pertanyaan yang sering muncul kembali: apakah ada puasa khusus Rajab dengan keutamaan pahala tertentu yang berbeda dari puasa sunnah pada bulan-bulan lain.
Baca Juga: Angkat Isu Etika Islami, TIM PKM FAI Umsida Raih Juara 3 RSH-2 PIMTANAS PTMA 2025
Isu ini penting karena antusiasme ibadah sering bergerak cepat, sementara ketelitian terhadap dalil kadang tertinggal. Rajab memang memiliki kemuliaan, tetapi kemuliaan bulan tidak otomatis melahirkan bentuk ibadah baru yang diklaim “khusus” tanpa pijakan nash yang kuat.
Rajab Termasuk Bulan Haram yang Dimuliakan
Al-Qur’an menegaskan bahwa dalam satu tahun Hijriah ada dua belas bulan, dan di antaranya terdapat empat bulan haram (bulan yang dimuliakan), yakni Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab.
إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِندَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ
“Sesungguhnya bilangan bulan menurut Allah ada dua belas bulan… di antaranya ada empat bulan haram.” (QS. At-Taubah [9]: 36)
Makna praktisnya jelas: Rajab dihormati karena statusnya sebagai bulan haram, sehingga umat dianjurkan menjaga diri dari maksiat dan memperbanyak amal saleh secara umum. Namun, penghormatan itu tidak otomatis berarti ada ritual puasa “paket khusus Rajab” yang berdiri sendiri.
Tidak Ada Dalil Sahih tentang Puasa Khusus Rajab
Dalam penjelasan Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, tidak ditemukan dalil sahih yang menetapkan adanya puasa Rajab dengan fadhilah khusus yang diklaim sebagai amalan tersendiri. Artinya, jika ada tanda-tanda ajakan yang menyebut “puasa Rajab sekian hari dengan pahala tertentu” tetapi tidak disertai landasan yang kuat, itu perlu disikapi dengan kehati-hatian ilmiah: semangat baik tidak boleh menggantikan validitas dalil.
Lalu bagaimana dengan anjuran memperbanyak puasa di Rajab yang sering terdengar? Logikanya bukan karena ada “dalil khusus Rajab”, melainkan karena ada anjuran umum untuk memperbanyak amal saleh pada waktu-waktu yang dimuliakan. Prinsipnya: yang dikuatkan adalah ibadah yang dalilnya sahih, bukan label bulan yang kemudian dipakai untuk membenarkan klaim-klaim pahala tertentu.
Amalan Puasa yang Dianjurkan dan Dalilnya Jelas
Jika ingin menghidupkan Rajab dengan puasa, pilihan yang aman dan kuat adalah mengamalkan puasa sunnah yang memang memiliki landasan tegas, salah satunya puasa tiga hari setiap bulan yang dikenal luas sebagai Ayyāmul Bīḍ (tanggal 13, 14, dan 15 Hijriah). Muhammadiyah juga memuat pembahasan dan rujukan hadis terkait praktik ini.
Dalam riwayat tentang Abu Dzar, Rasulullah ﷺ memerintahkan puasa tiga hari setiap bulan pada tanggal-tanggal tersebut dan menjelaskan nilainya seperti berpuasa setahun.
Pertanyaan berikutnya: mengapa tiga hari bisa bernilai seperti setahun? Penjelasannya bertumpu pada kaidah Al-Qur’an bahwa satu kebaikan dilipatgandakan menjadi sepuluh.
مَنْ جَاءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا
“Barang siapa datang dengan satu kebaikan, maka baginya sepuluh kali lipat dari kebaikan itu.” (QS. Al-An‘am [6]: 160)
Secara hitungan pahala: 3 hari × 10 = 30 hari. Jika dilakukan konsisten setiap bulan selama 12 bulan, maka nilainya setara 360 hari, yakni mendekati “puasa setahun” dalam makna ganjaran.
Baca Juga: Sabet 3 Penghargaan di Anugerah Diktisaintek, Umsida Buktikan Konsistensi Kinerja Akademik
Intinya, Rajab bisa menjadi momentum peningkatan kualitas ibadah, tetapi jalurnya seharusnya tegas: ikuti amalan yang dalilnya kuat, hindari klaim pahala khusus yang tidak bisa dipertanggungjawabkan.
Referensi
- Kalender Hijriah Global Tunggal Muhammadiyah (awal Rajab 1447 H).
- Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Fatwa tentang puasa bulan Rajab dan penjelasan terkait.























