Fai.umsida.ac.id – Isu mengenai guru yang didemo satu sekolah karena menampar siswanya yang kedapatan merokok kembali mencuat di ruang publik. Fenomena ini menuai pro dan kontra di kalangan masyarakat, khususnya di lingkungan pendidikan.
Baca Juga:Mahasiswa FAI Umsida Kembangkan Model Pengendalian Ghibah Syar’i untuk Bangun Budaya Etika Islami
Menanggapi hal tersebut, dosen Fakultas Agama Islam (FAI) Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida), Ainun Nadlif MPdI, menyampaikan pandangannya dalam perkuliahan Administrasi Pendidikan yang berlangsung hari ini (Senin, 20 Oktober 2025).
Dalam penyampaiannya di depan mahasiswa, beliau mengajak calon pendidik untuk melihat persoalan secara lebih bijak dan menyeluruh, bukan hanya dari tindakan lahiriah guru maupun siswa. “Jangan hanya fokus pada anaknya, tapi lihat siapa orang tuanya, bagaimana kondisi keluarga, dan bagaimana pendidikan itu berlangsung di rumah,” ujarnya menekankan.
Konteks Sosial yang Mempengaruhi Perilaku Siswa
Menurut Pak Ainun, perilaku menyimpang yang muncul di lingkungan sekolah sering kali bukan murni kesalahan anak semata. Ia menegaskan bahwa perilaku anak banyak dipengaruhi oleh latar belakang keluarga, kondisi sosial ekonomi, hingga kebiasaan di rumah.
“Coba lihat, apa yang dimakan dan diminum anak itu, dari mana penghasilan orang tuanya. Semua itu akan memengaruhi perilaku dan kepribadian anak,” ucapnya dengan nada tegas.
Pernyataan ini mengandung pesan moral mendalam bahwa proses pendidikan tidak bisa dilepaskan dari lingkungan sosial anak. Ia mencontohkan, dalam banyak kasus, anak-anak yang tumbuh dalam keluarga kurang harmonis atau mengalami kekerasan verbal akan menunjukkan perilaku memberontak di sekolah.
“Kalau bapaknya berangkat pagi dan pulang malam, ibunya juga kerja sore, lalu anaknya diasuh tetangga, siapa yang memberikan kasih sayang dan perhatian? Ini yang sering dilupakan,” tambahnya.
Melalui pandangan itu, ia mengajak mahasiswa calon guru untuk memiliki sensitivitas sosial yang tinggi. Pendidikan, kata beliau, bukan sekadar transfer ilmu, tetapi juga pemahaman terhadap latar belakang psikologis dan sosial siswa.
Menjadi Guru yang Humanis dan Tidak Reaktif
Kasus guru yang menampar siswa hingga menimbulkan demonstrasi di sekolah menjadi pelajaran penting bagi calon guru agar lebih cermat dalam mengelola emosi. Menurut Pak Ainun, reaksi emosional tanpa kendali justru berpotensi merusak citra profesi guru sebagai pendidik dan teladan.
“Jadi kamu jangan marahi anak-anak ini dengan kata-kata kasar, jangan bilang goblok, miskin, atau tolor. Itu sudah termasuk diskriminasi dan perundungan,” tegasnya di hadapan mahasiswa.
Ia menjelaskan bahwa guru di masa depan harus mampu menahan emosi dan berpikir jernih ketika menghadapi kenakalan siswa. Dalam konteks kasus tersebut, meskipun siswa melakukan kesalahan dengan merokok di lingkungan sekolah, kekerasan fisik bukanlah solusi yang mendidik.
“Guru harus bisa beradaptasi, memahami situasi, dan menyelesaikan masalah tanpa kekerasan. Pendidikan itu bukan menghukum, tapi membimbing,” tutur Pak Ainun.
Ia juga menekankan pentingnya empat kecerdasan yang harus dimiliki seorang guru: kecerdasan intelektual, emosional, sosial, dan spiritual. Dengan keseimbangan keempatnya, guru dapat mengambil keputusan secara bijak dan mendidik tanpa kehilangan wibawa.
Pendidikan sebagai Proses Empati dan Keteladanan
Dalam akhir penyampaiannya, Pak Ainun mengingatkan bahwa profesi guru bukan sekadar pekerjaan, tetapi amanah besar dalam membentuk generasi penerus bangsa. Ia menyebut bahwa guru yang bijak adalah mereka yang mampu melihat persoalan dari akar masalahnya, bukan hanya dari gejala permukaannya.
“Anak itu cermin dari lingkungannya. Kalau lingkungan baik, anaknya juga akan baik. Maka guru tidak boleh hanya menyalahkan anak, tapi juga memahami sebab di balik perilakunya,” katanya.
Beliau juga menegaskan bahwa guru yang ideal adalah guru yang free bukan berarti bebas tanpa batas, melainkan terbebas dari prasangka, diskriminasi, dan ego pribadi dalam mendidik.
Opini yang disampaikan Pak Ainun mendapat respons positif dari mahasiswa yang hadir dalam kuliah Administrasi Pendidikan. Banyak dari mereka menilai pandangan tersebut membuka wawasan baru tentang pentingnya empati dalam pendidikan.
Baca Juga: Catatan 1 Tahun Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto
Melalui refleksi ini, FAI Umsida berharap para mahasiswa calon pendidik dapat meneladani nilai-nilai humanis dan Islami dalam setiap tindakan di lapangan. Seorang guru sejati, sebagaimana diungkapkan Pak Ainun, adalah sosok yang tidak hanya cerdas secara akademik, tetapi juga lembut hatinya, sabar dalam mendidik, dan mampu menjadi cermin akhlak bagi peserta didiknya.
Sumber: Ainun Nadlif MPdi
Penulis: Akhmad Hasbul Wafi