Fai.umsida.ac.id – Setiap datangnya Idul Adha, umat Islam di seluruh dunia menyambutnya dengan semangat melaksanakan ibadah qurban. Biasanya, perhatian publik tertuju pada aspek ritual: penyembelihan hewan, pembagian daging, dan pelaksanaan sunnah Nabi Ibrahim AS.
Baca Juga: Kebijakan Haji Furoda 2025 Dihentikan, Ini Pandangan Dosen FAI Umsida
Namun, menurut Dekan Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (FAI Umsida), Dr Imam Fauji Lc Mpd, makna qurban sejatinya jauh lebih dalam dan sering kali luput dari pemahaman kebanyakan orang.
Qurban Bukan Sekadar Menyembelih, Ini Soal Memilih Memberi yang Terbaik
Dalam wawancara khusus, Dosen PBA ini menjelaskan bahwa qurban bukan sekadar ritual penyembelihan hewan, tetapi lebih kepada bagaimana seseorang memaknai memberi yang terbaik kepada Allah. Ia mencontohkan peristiwa dua anak Nabi Adam dalam Al-Qur’an. “Salah satu dari mereka memberikan ternak terbaiknya, sementara yang lain hanya sekadar menjalankan kewajiban. Yang diterima Allah adalah yang memberikan dengan ketulusan dan kualitas,” ujarnya.
Menurut beliau, esensi qurban justru terletak pada pemilihan, yakni ketika seseorang harus memilah antara sesuatu yang biasa-biasa saja dan sesuatu yang benar-benar berharga baginya. Di sinilah letak ujian keimanan: apakah seseorang sanggup menyerahkan apa yang paling ia cintai demi Allah?
“Makna yang jarang disadari adalah bahwa qurban itu tentang keberanian melepaskan,” katanya. Bukan hanya melepaskan harta atau hewan, tetapi juga ego, rasa memiliki, bahkan rasa aman yang kita miliki terhadap suatu hal. “Ketika seseorang berani melepas yang ia cintai karena Allah, saat itulah qurbannya benar-benar diterima.”
Menyembelih Ego, Qurban dalam Dimensi Psikologis dan Sosial
Lebih jauh, Alumni Omdurman Islamic University Sudan ini mengungkap sisi lain dari qurban yang jarang dibicarakan: penyembelihan ego. Ia mengatakan bahwa dalam setiap diri manusia ada “binatang” batin yang liar: kesombongan, kerakusan, kedengkian, cinta dunia yang berlebihan. “Qurban mengajarkan kita untuk menyembelih sifat-sifat buruk itu,” terangnya.
Dengan menyembelih hewan kurban, kita diajak menyadari bahwa ada ‘hewan’ dalam diri kita sendiri yang harus dikendalikan. Jika tidak, maka hidup hanya akan dipenuhi oleh nafsu dan kepentingan pribadi. Dalam pandangan ini, qurban bukan hanya bersifat ritualistik, tetapi juga menjadi proses spiritual dan psikologis yang sangat dalam.
Beliau menegaskan bahwa qurban juga mengajarkan sensitivitas sosial. “Jangan sampai ibadah qurban menjadi ajang pamer kekayaan atau formalitas belaka. Hakikatnya adalah berbagi kepada yang membutuhkan dan merasakan penderitaan orang lain.”
Qurban dan Prinsip Kepentingan Bersama
Aspek lain yang juga jarang diperhatikan adalah bagaimana nilai qurban dapat membentuk cara pandang terhadap kehidupan bersama. Dr Imam menyitir kaidah fikih klasik: “al-mashlahah al-‘ammah muqaddamah ‘ala al-mashlahah al-khassah”—kepentingan umum harus didahulukan dari kepentingan pribadi.
Dalam hal ini, qurban adalah pelajaran besar tentang bagaimana seseorang harus mampu menahan kepentingan dirinya demi kepentingan masyarakat. Contohnya bisa kita lihat dalam kehidupan berbangsa: saat aturan dibuat untuk kepentingan bersama, individu harus rela mengorbankan kenyamanan pribadinya demi tertib sosial.
“Lampu merah adalah contoh sederhana. Saat menyala, semua orang, apapun kepentingannya, harus berhenti demi keselamatan bersama. Ini adalah bentuk nyata dari semangat qurban dalam kehidupan sehari-hari,” ungkap beliau.
Qurban, menurutnya, harus menjelma menjadi etos hidup yang menumbuhkan sikap rela berkorban demi maslahat yang lebih luas. “Qurban itu bukan soal satu hari di kalender hijriyah. Itu adalah prinsip hidup yang harus dibawa setiap waktu.”
Saatnya Umat Islam Memahami Ibadah Qurban Lebih Dalam
Menutup refleksinya, Dr. Imam mengajak seluruh masyarakat, khususnya sivitas akademika Umsida, untuk melihat qurban dengan cara yang lebih reflektif. “Jangan hanya sibuk memilih hewan yang gemuk atau besar, tetapi lupakan makna spiritual dan sosial yang terkandung di dalamnya. Qurban adalah latihan tahunan untuk menjadi manusia yang lebih peduli, lebih tulus, dan lebih sadar akan tanggung jawab sosialnya,” pungkasnya.
Baca Juga: 3 Rangkaian Program Dakwah Terpadu DAIK dan Korkom IMM Umsida di PCM Tarik
Dengan memahami makna tersembunyi dari qurban, umat Islam diharapkan mampu memperbaiki relasi spiritual dengan Allah dan hubungan sosial dengan sesama. Maka, mari jadikan momen Idul Adha tahun ini bukan hanya sebagai perayaan, tetapi juga sebagai momentum pembelajaran dan pendewasaan diri.
Penulis: Akhmad Hasbul Wafi